Doa Menerima & Membayar Zakat

Niat zakat mal atau fitrah cukup di dalam hati dengan mengatakan "Aku memberikan harta ini sebagai zakat mal atau fitrah, karena Allah".

Sangat baik ketika memberikan zakat membaca do'a :



Kemudian yang menerima dianjurkan membaca do'a :


Minggu, 22 Juni 2008

Zakat Perhiasan dan Harta

Zakat perhiasan dan harta yang dipakai sendiri, ada beberapa pendapat dari para ulama dalam hal kewajiban menzakatinya. Sebagian dari mereka (Hanafiyah) mewajibkan, apapun bentuk dan sifatnya. Berdasar pada hadis Nabi saw --sebagaimana yang Anda baca dalam kitab Bulughul Maram tersebut : Pada suatu hari seorang perempuan bersama anaknya yang memakai dua gelang besar-besar mendatangi Rasulullah, kemudian Rasul berkata "Apakah sudah engkau keluarkan zakatnya?" Si perempuan menjawab "Tidak." Rasul lantas berkata "Apa kamu suka jika nanti hari kiamat Allah swt menggelangkan padanya dengan gelang dari api?" Kemudian perempuan itu melepaskannya dan memberikannya pada Rasulullah sembari berkata "Itu untuk Allah swt dan Rasul-Nya." [HR. Abu Daud dan Nasa'i]).

Pendapat lain mengatakan bahwa perhiasan (yang dipakai) tidak wajib dikeluarkan zakatnya, dengan mendasarkan pada hadis Nabi "Tidak ada zakat dalam perhiasan" (HR. Baihaqi dan Daruquthni). Perhiasan yang dipakai sendiri maksudnya. Juga berdasar pada praktek para Sahabat Nabi. Imam Malik meriwayatkan dalam bukunya yang terkenal (Al-Muwatta') bahwa Sayidah A'isyah ra (istri Rasulullah) mendandani keponakan-keponaknnyanya yang yatim dengan perhiasan milik mereka dan tidak menzakatinya. Abdullah Bin Umar (salah seorang sahabat Nabi) juga menghiasi anak-anaknya dan tidak mengeluarkan zakat. Demikian juga Asma' Binti Abu Bakar menghiasi anak-anaknya dengan emas dan tidak menzakatinya. Dan masih banyak lagi praktek para sahabat yang menguatkan pendapat ini.

Ada pendapat ketiga mengatakan, bahwa perhiasan yang dipakai sendiri (begitu juga harta lainnya) hanya wajib dizakati satu kali seumur hidup setelah kita memilikinya setahun (sebagaimana yang Anda sebutkan). Pendapat ini diutarakan oleh sahabat Anas Bin Malik.

Adapun pendapat mayoritas ulama' (setidaknya Malikiyah, Syafi'iyah, Hanbaliyah dan juga banyak di antara para sahabat) yang tidak mewajibkan zakat pada perhiasan yang dipakai sendiri mempunyai pertimbangan-pertimbangan berikut ini:

Pertama, bahwa Hadis Nabi SAW yang menjadi dasar pendapat pertama meskipun sebagaian ahli Hadis mengakui kesahihannya, ia tidak lepas dari pendapat yang mendho'ifkannya. Seperti pendapat at-Tirmidzy bahwa hadis ini tidak benar berasal dari Rasulullah, karena dua orang Rawi dalam sanad Hadis tersebut tidak diakui kapabilitasnya.

Kedua, Sebagian Ulama mengakui keshahihan hadis tersebut dan menjadikannya sebagai dalil, namun demikian ada hadis sahih lain yang bertentangan dengannya. Dalam hal ini para Ulama mengambil jalan tengah dengan melihat waktu datangnya Hadis.

Pada periode pertama Islam, mamakai perhiasan (emas dsb) termasuk yang diharamkan walaupun untuk kaum wanita. Sebagaimana yang dikisahkan oleh Asma' Binti Abu Bakar bahwa Rasulullah SAW bersabda "Barang siapa (wanita) yang berkalungkan emas, maka pada hari kiamat ia akan dikalungi api. Dan barangsiapa yang memakai anting dari emas, maka pada hari kiamat Allah swt akan memakaikan api di telinganya." (HR. Abu Daud) Adapun alasan pengharaman tersebut disebabkan oleh kondisi masyarakat dan negara pada saat itu sedang krisis ekonomi. Namun setelah kondisi ekonomi mulai membaik Rasul membolehkan bagi wanita untuk memakai perhiasan dan mewajibkan menzakatinya (seperti hadis pertama). Adapun jika para sahabat tidak melakukannya, itu karena saat itu kondisi ekonomi masyarakat dan negara benar-benar baik. Demikian juga yang terjadi, saat para ulama mewajibkan zakat emas hanya ketika mencapai nisabnya dan melepaskan kewajiban itu untuk segala macam perhiasan yang dipakai sendiri.

Ketiga, jika syari'at membebaskan zakat dari hal-hal yang lazim dipakai seperti baju, perabotan, kendaraan pribadi, sapi perah untuk kepentingan sendiri, maka tidak ada alasan bagi wajibnya zakat perhiasan yang dipakai sendiri.

Keempat, yang dijadikan pertimbangan dalam mewajibkan zakat menurut syara' adalah semua harta yang berkembang (produktif). Dan, memang, deifinisi zakat sendiri secara leksikal mengandung arti "namaa'" atau berkembang. Oleh karena itu barang-barang niaga, hewan ternak, wajib dikeluarkan zakatnya karena akan terus berkembang. Sementara tidak demikian halnya dengan perhiasan yang dipakai sendiri.

Kelima, Ibnu Abi Syabah meriwayatkan dari Ziyad bin Abi al-Salam bahwa Sahabat Hasan ra berkata "Tidak satupun dari Sahabat yang mengatakan bahwa perhiasan itu wajib dizakati." Para sahabat tentunya orang yang paling tahu dan mempraktekkan syariat sesuai tuntunan nabi SAW, namun mereka tidak melakukannya.

***
Dari kenyataan-kenyataan di atas, bagi saya, kita saat ini harus mempunyai pertimbangan-pertimbangan sendiri. Di samping karena kondisi sosial-ekonomi Indonesia (khususnya) saat ini sedang kacau, pertimbangan lainnya ialah (1) saat ini hampir tidak ada (kalaupun ada itu sedikit sekali) orang yang menyimpan emas (baik itu emas batangan atau berupa perhiasan) yang sengaja untuk simpanan murni. (2) Banyak sekali orang perempuan memakai perhiasan, di samping dengan maksud untuk berhias juga berniat menabung. Karena menabung berupa emas adalah cara yang sangat praktis. Nilai emas tidak akan pernah merosot.

Maka demi berhati-hati, sebaiknya memutuskan yang tengah-tengah:
  • Jika perhiasan yang dipakainya itu, di samping untuk berhias diri, juga dimaksudkan untuk simpanan (tabungan), maka harus dizakati (setelah mencapai nisab).
  • Jika perhiasannya itu murni untuk berhias diri, boleh saja ia mengikuti pendapat yang tidak mewajibkan.

Catatan: Nisab emas sebesar 85 gram. Ada juga yang berpendapat 91 gram, dan yang lain lagi berpendapat 96 gram. Namun, juga demi berhati-hati, kita pilih saja yang 85 gram. Sehingga kalau kita mempunyai emas telah mencapai 85 gram, dan itu kita niati sebagai simpanan (di samping berhias), wajib kita keluarkan zakatnya, yaitu sebesar 2,5 %.

Ketentuan ini juga berlaku pada barang-barang lain yang mempunyai nilai kemewahan. Seperti mobil pribadi, barang elektrik yang mewah seperti tape, dll. Jadi, seandainya mobil pribadi yang kita pakai melebihi sekedar kebutuhan, maksudnya ada unsur kemewahan di situ, maka wajib dizakati (yaitu prosentase kadar kemewahannya).

Zakat Profesi

Di dalam Islam, pada harta yang dimiliki seseorang terdapat hak Allah di sana. Hak ini dikenal dengan istilah zakat yang diperuntukkan bagi delapan golongan sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 60.
Zakat bukan merupakan hak mustahik tetapi merupakan hak Allah sehingga menjadi kewajiban mutlak bagi manusia yang telah melampaui batas minimal kekayaan wajib zakat (*nisab*) untuk menunaikannya. Seseorang yang tidak menunaikan kewajiban zakat berarti tidak menunaikan hak Allah sehingga Allah SWT berhak memberi mereka balasan. Tidak pernah ada dalam sejarah Islam fakir miskin menyerang orang kaya demi memperoleh bagian dan zakat.
Di lihat dari dimensinya, ibadah zakat merupakan ibadah yang sangat unik. Selain berdimensi vertical, yakni bentuk pengabdian kepada Allah (*hablun minalLah*), zakat juga memiliki dimensi horizontal (*hablun minannas*) untuk meringankan beban kaum dhuafa. Pada masa keemasannya, zakat pernah mengangkat kemuliaan kaum muslimin dengan mengentaskan kemiskinan seperti pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz di mana tidak ditemukan seorang pun yang mau menerima zakat.
Wacana yang tengah hangat dalam dunia zakat selama beberapa decade terakhir ini adalah diperkenalkannya instrument *zakat profesi* di samping *zakat fitrah* dan *zakat maal* (zakat harta). Sebagian kecil masyarakat masih mempertanyakan legalitas zakat profesi tersebut. Mereka yang menentang penerapan syariat zakat profesi ini beranggapan bahwa zakat profesi tidak pernah dikenal sebelumnya di dalam syariat Islam dan merupakan hal baru yang diada-adakan. Sedangkan mayoritas ulama kontemporer telah sepakat akan legalitas zakat profesi tersebut. Bahkan, zakat profesi telah ditetapkan berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia dengan Keputusan Nomor 3 tahun 2003.
Setiap penghasilan, apapun jenis pekerjaan yang menyebabkan timbulnya penghasilan tersebut diharuskan membayar zakat bila telah mencapai nisab. Pekerjaan apa saja? Bisa Dokter, Pegawai Negeri Sipil, Akuntan, konsultan, artis, entrepreneur dan sebagainya. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah swt:"Hai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu." (QS Al Baqarah:267).
Selain ayat di atas, masih banyak ayat-ayat di dalam Al Qur'an dan hadits yang bisa dijadikan sebagai dalil yang memperkuat legalitas zakat profesi. Bahkan di dalam bukunya, *Fiqhu Zakah *(yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Fikih Zakat) Dr. Yusuf Qardawi mengemukakan bahwa penerapan zakat profesi telah sejak lama berlangsung dalam pemerintahan Islam sebagaimana pernah terjadi pada masa Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Muawiyah, serta Umar bin Abdul Aziz yang memberlakukan pemotongan gaji para pegawai pemerintahan.
Ditinjau dari sisi lain, zakat profesi sangat sesuai dengan prinsip keadilan Islam. Coba bayangkan, sungguh tidak adil bilamana seorang petani yang bekerja sangat keras untuk mewujudkan hasil pertaniannya, setiap panen tiba harus mengeluarkan zakat pertanian sebesar 5 hingga 10 % sementara kaum professional yang memiliki penghasilan lebih besar dari petani tersebut tidak dikenai zakat.
Dari aspek social, zakat profesi sejatinya sangat berperan bagi perwujudan keadilan sosial. Menurut Ahmad Gozali, Perencana Keuangan Safir Senduk dan Rekan, di dalam majalah Sharing zakat adalah investasi social. Selain pahalanya disebutkan secara tegas di dalam Al Qur'an bahwa setiap harta yang kita keluarkan akan mendapat balasan sebesar 700 kali lipat, entah dengan harta yang sama maupun dalam bentuk yang berbeda yang tidak kita sadari, dengan berzakat kita telah berperan secara aktif dalam memerangi kemiskinan. Keuntungan lain bagi orang yang berzakat, sejalan dengan menurunnya tingkat kemiskinan tingkat kriminalitas juga semakin menurun sehingga lingkungan kerja dan usaha semakin kondusif.
Bagaimana ketentuan tentang zakat profesi? Baiklah penulis sampaikan secara ringkas. Di dalam zakat profesi ada sedikitnya dua permasalahan yang disikapi berbeda menurut pandangan beberapa ulama.
Pertama: penentuan nisab dan kadar zakat profesi. Mohammad Taufik Ridho di dalam bukunya Zakat Profesi dan Perusahaan yang diterbitkan oleh Institut Manajemen Zakat bekerja sama dengan BAMUIS BNI mengemukakan bahwa ada 4 pendapat dalam mengqiyaskan hukum untuk menentukan *nisab* dan tarif zakat profesi sebagaimana table berikut.

Nisab

Kedua: cara menghitung zakat profesi apakah dari penghasilan netto atau bruto. Untuk cara yang pertama, untuk menentukan besarnya zakat profesi yang dikeluarkan pemilik harta terlebih dahulu mengurangi penghasilan yang mereka terima dengan kebutuhan pokok minimum pemilik harta tersebut. Ada beberapa versi dalam menentukan standar hidup minimal. Sekedar contoh, menurut Bank Dunia standar hidup minimal adalah $2 per jiwa perhari. Jika menggunakancara yang kedua, begitu menerima penghasilan pemilik harta tersebut segera menentukan zakatnya tanpa menguranginya dengan kebutuhan pokok minimum.
Mengacu pada dua permasalahan di atas, jika seseorang professional muda (belum menikah) memiliki total penghasilan Rp. 10.000.000,- per bulan dengan metode penghitungan pertama yakni penghasilan netto dengan asumsi kebutuhan pokok minimum professional muda tersebut adalah Rp. 2.500.000 per bulan, maka zakat yang harus dikeluarkan ditunjukkan sebagaimana contoh berikut:


Penghasilan netto = (Rp. 10.000.000 – Rp. 2.500.000) = Rp. 7.500.000,-

(wajib zakat karena telah melampaui nisab baik zakat pertanian maupun zakat emas (uang)

Zakat Profesi = Rp. 7.500.00 x 2,5 % = *Rp. 375.000,00*

dengan cara yang sama, zakat profesi untuk kategori (B) = Rp. 187.500,00,
(C) = Rp. 187.500,00 dan (D) = Rp. 187.500,00

Keberagaman pendapat dalam menentukan zakat profesi yang dikemukakan oleh kalangan ulama identik dengan selalu adanya pilihan alternative, keringanan dan kemudahan dalam membayar zakat. Di tambah dengan berbagai fasilitas yang disediakan oleh Lembaga Pengelola Zakat baik BAZ maupun LAZ, membayar zakat menjadi mudah, praktis dan menyenangkan. Itulah kenapa BAZNAS-DD, pada Ramadhan tahun lalu pernah mengusung tema "Ternyata Zakat Ringan". Dua setengah persen terlalu kecil nilainya untuk adzab Allah yang sangat pedih sebagai ancaman bagi orang yang enggan menunaikan kewajiban zakat. Sementara dua setengah persen sangat besar manfaatnya untuk meringankan beban derita kaum dhuafa yang tak kunjung reda.

Minggu, 15 Juni 2008

ANDUAN SINGKAT ZAKAT

No.

Jenis

Nishab

Kadar

Waktu

1

Zakat Profesi

520 kg beras

2,5%

Setiap kali menerima

2

Zakat Emas/perak

85 gr emas

2,5%

1 tahun

3

Zakat Tabungan

85 gr emas

2,5%

1 tahun

4

Zakat Investasi

10%

1 tahun

5

Hadiah

Komisi: 10%

Hibah: 10%

Setiap kali menerima

6

Zakat Perdagangan

85 gr emas

2,5%

1 tahun

7

Zakat Perusahaan

-

2,5%

1 tahun

8

Zakat Fitrah

-

2,5%

1 tahun

Bookmarkkan Situs kami dan Komen anda